Senin, 12 Desember 2011

Menyatukan Pikiran dan Tindakan

Ketika pekerjaan menyejahterakan rakyat terbentur dengan banyak masalah, lingkungan rusak, pasar tradisional memudar, perdagangan terputus, keamanan memburuk, BUMN merugi, investor asing tak kunjung tiba, dan Visit Indonesia Year jalan di tempat, para pejabat sibuk membuat undang-undang baru. Semua masalah diasumsikan berawal dari ketiadaan payung hukum yang memadai.



Padahal, pemimpin daerah mengeluhkan peraturan baru banyak yang datang dan pergi. Membuat peraturan memang
bagian dari perubahan. Namun, orang- orang bijak memberi nasihat, “Ada dua pihak yang harus diwaspadai: yang tidak pernah berubah dan yang setiap saat berubah.”Alignment dalam kamus diartikan penjajaran, di masjid dimaknai saf, di ketentaraan berarti membuat dalam satu barisan, dan dalam manajemen saya artikan menyatukan pikiran dan tindakan.


Negeri ini bisa gagal bukan karena kurang orang pintar, tetapi kurang disatukan orang-orang pintar itu. Seorang sekretaris jenderal memberi tahu saya bahwa departemennya sulit bergerak karena kebanyakan orang pintar. Sementara itu, Pak atau Bu Menteri sibuk jalan-jalan ke luar negeri. Orang-orang pintar yang tak disatukan akan asyik dengan pikiran sendiri, bekerja menurut hobi masing-masing.

Buruknya alignment tampak dalam kegiatan yang saling bertabrakan. Saat mengepalai sebuah badan di pemerintahan, saya sering terkejut dengan kunjungan delegasi dagang dari kantor kementerian A dan B. Mereka berkunjung sebelum kami datang, dengan tema yang berseberangan pula. Di Arena Pekan Raya Jakarta kita saksikan anjungan sebuah kota terletak di luar anjungan provinsinya. Di pameran pariwisata internasional di Berlin saya juga pernah melihat anjungan Bali Village yang dikelola swasta ditempatkan di luar
anjungan Indonesia yang terkesan gelap dan sepi.

Masalah alignment tak hanya terjadi horizontal antar departemen, tetapi juga horizontal dalam satu departemen. Di satu departemen hampir semua unit memiliki kegiatan sama dengan nama berbeda-beda. Kegiatan yang berulang sama dengan pelaku (pegawai dan pemborong) yang berbeda-beda jelas merupakan pemborosan.

Sikap ini sebenarnya tak lepas dari tradisi “menghabiskan anggaran” tanpa memikirkan akibat sehingga tujuan tak pernah tercapai. Bayangkan, satu departemen dengan lima jajaran eselon satu dan 25 jajaran eselon dua mempekerjakan 50 biro iklan dengan 100 pengelola acara.

Memimpin ke atas
Buruknya alignment merupakan cermin dari buruknya kepemimpinan. Tradisi birokrasi yang konon diadakan untuk melayani atasan masih terus berlanjut. Pemimpin baru yang berdatangan dari luar birokrasi tampak menikmati betul pelayanan super prima dari bawahannya. Di bandara mereka dijemput banyak orang, persis di depan pintu pesawat.

Di hotel sudah menunggu puluhan orang yang siap melayani permintaan pejabat tinggi. Lift khusus disediakan untuk pejabat puncak.

Seorang CEO perusahaan-pengangkut yang baru diangkat dan kebetulan mantan dari perusahaan swasta baru-baru ini menyatakan: Stop semua itu! Ia menunjukkan karikatur yang terdiri dari banyak orang yang saling mencium tangan atasannya. Pejabat yang paling tinggi (menteri) memberi tangan kanannya untuk dicium pejabat eselon I. Tangan kiri pejabat eselon satu itu dicium pejabat eselon 2. Demikian seterusnya.

Kepemimpinan seperti ini merusak masa depan bangsa. Orang merasa tak sopan kalau tidak membawakan tas pemimpinnya, menjemput di depan pintu pesawat, duduk di paling depan saat pemimpin berpidato, dan seterusnya. Kepemimpinan tidak diadakan untuk melayani atasan, melainkan untuk mengubah manusia dan mencapai hasil. Pemimpin bukanlah pencipta pengikut, melainkan pencipta pemimpin-pemimpin
baru.

Dalam model kepemimpinan alignment, seorang pemimpin menjalankan tiga peran sekaligus: memimpin ke atas, memimpin ke bawah, dan memimpin ke samping. Memimpin ke atas dan memimpin ke bawah merupakan bagian dari vertical alignment, sedangkan memimpin ke samping bagian horizontal alignment.

Yang saya temui, banyak menteri, bupati, dan gubernur hanya menjalankan peran memimpin ke bawah, sementara setiap bawahannya terperangkap peran memimpin ke atas. Bisa dibayangkan apa jadinya negeri ini kala semua pejabat hanya melayani atasannya saja. Mereka lupa bahwa birokrasi diadakan untuk kita, pembayar pajak.

Dalam manajemen birokrasi, kepemimpinan yang demikian sedang melakukan inersia, yaitu penyakit “pedalaman” yang membuat orang asyik melihat ke dalam sehingga sulit menerima perubahan. Inersia menyebabkan birokrat atau eksekutif terpenjara dalam silo (fungsi)-nya masing-masing sehingga sulit menerima pemimpin dari kiri-kanannya.

Horizontal alignment lemah, tidak ada koordinasi. Inilah awal dari pergeseran ekonomi dan negara kesatuan Indonesia yang karut-marut. Indonesia alignment lebih dari sekadar undang-undang, yaitu cara kerja dan memimpin.

Sumber: Menyatukan Pikiran dan Tindakan oleh Rhenald Kasali, Mengajar Manajemen Perubahan pada Universitas Indonesia

Artikel Terkait



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Loading